Momen Pilpres 2024, Masyarakat Diimbau Waspada Polarisasi Politik yang Membahayakan Kesatuan Bangsa, Apa Itu?

29 April 2023, 09:00 WIB
Momen Pilpres 2024, Masyarakat Diimbau Waspada Polarisasi Politik yang Membahayakan Kesatuan Bangsa, Apa Itu? /Pixabay/mohamed_hassan/

PORTAL NGANJUK – Menjelang Momen Pilpres 2024, sudah sewajarnya beberapa partai politik sudah merencanakan bakal calon Presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Selain itu, beberapa instansi terkait juga mempersiapkan beberapa persiapan yang penting dan dibutuhkan saat Pemilu 2024 mendatang diselenggarakan.

Disisi lain, Pakar politik yang juga menjabat sebagai akademisi Universitas Bengkulu Dr. Panji Suminar mengatakan jika Undang-Undang ITE harus dikaji kembali, untuk mempertimbangan dan pencegahan polarisasi dalam Pilpres 2024.

“Capres-capres yang maju mereka menonjolkan citra diri bahwa mereka berkompeten, bukan melakukan politik primordial  dan membuat polarisasi. Namun, yang menjadi masalah kan simpatisan dan buzzer yang menggoreng isu, kampanye negatif bahkan kampanye hitam,” ungkap Dr. Panji Suminar di Bengkulu.

Media yang nantinya dimanfaatkan simpatisan serta buzzer untuk melakukan kampanye negatif, hingga kampanye hitam diprediksi akan melalui media sosial atau ruang digital.

Karenanya, etika dan aturan di ruang digital tersebut yang penting untuk dikelola, supaya benih-benih polarisasi yang berawal dari kampanye hitam bisa ditanggulangi.

“Makannya perlu dikaji penerapan UU ITE, harus keras dan tegas terhadap buzzer yang berkampanye hitam dan penyebar hoaks. Tegas dengan menggunakan UU ITE bukan untuk menutup saluran yang diberikan konten memecah belah bangsa,” jelas Dr. Panji Suminar.

Melakukan kampanye hitam, menurut pendapat Dr. Panji Suminar, secara etika politik masih bisa ‘diterima’ sebab kondisi tersebut merupakan fakta yang terjadi, namun ironisnya, fakta yang disuguhkan tersebut merupakan fakta yang negatif.

Baca Juga: Ikuti Jejak Sang Ayah di Politik, Al Ghazali dan El Rumi Resmi Bergabung Dengan Partai Gerindra

Namun, ia sangat tidak menerima jika kampanye hitam yang diterapkan merupakan informasi kebohongan yang disuguhkan kepada publik, hal tersebut malah membuat rakyat terbelah dan membahayakan kesatuan bangsa.

“Kalau kampanye negatif itu berasal dari fakta negatif dari sosok yang dimunculkan, masih dapat diterima walaupun secara etika tidaklah elok menyerang seperti itu. Tapi kalau kampanye hitam itu adalah kebohongan, memfitnah, atau tindakan lainnya yang sebenarnya tidak dilakukan oleh calon yang ingin dijatuhkan,” tuturnya.

Dr. Panji Suminar memberikan sarannya, akan lebih baik elite politik dan peserta pemilu memberikan contoh yang baik dengan berkampanye menonjolkan program, visi, dan misi, bukan malah sibuk mencari kesalahan lawan capres dan cawapres lainnya.

“Dan perlu mengontrol para buzzer, baik kontrol dari peserta pemilu, KPU sebagai penyelenggara, maupun pemangku kebijakan, dan penegak hukum. Kalau mereka menggunakan politik identitas, kampanye hitam membuat polarisasi, tindak tegas, hukum berlaku,” ungkap Dr. Panji Suminar.

Kasus terjadinya Polarisasi politik di Indonesia

Penting diketahui, menurut data hasil survei Nasional yang dilakukan Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI), memaparkan jika kasus polarisasi politik di Indonesia yang telah terjadi, baik di dimensi jaringan sosial online (daring) hingga dunia nyata (Luring).

Ketua Laboratorium Psikologi Politik UI Profesor Hamdi Muluk, dalam hasil surveinya bertajuk Polarisasi politik Indonesia: “Mitos atau Fakta? Yang dipantau secara daring di Jakarta” memaparkan polarisasi masih sangat kuat terjadi, diantaranya yang berbasis agama, polarisasi berbasis kepuasan kinerja pemerintahan, berbasis sentimen anti luar negeri.

“Agama varian penyumbang terbesar polarisasi,” ungkap Profesor Hamdi Mulu.

Terdapat juga polarisasi berdasarkan kepuasan kinerja pemerintah, menjadi penyumbang peringkat kedua menurut hasil survei. Disusul adanya sentimen berbasis anti luar negeri yang biasa dikenal sebagai masyarakat anti Asing atau Aseng.

Karena isu tersebut, Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia memberikan tanggapannya, jika adanya isu investasi Indonesia yang dikuasai oleh pihak luar tidaklah benar.

Bahlil Lahadalia mengkonfirmasi, jika investasi Indonesia dari total Rp 1.207 triliun pada tahun 2022 di luar sektor migas, keuangan dan UMKM, dan 54% nya merupakan investasi asing.

Dari 54% tersebut, negara paling banyak masuk adalah Negara Singapura, kurang lebih mencapai 13 miliar USD. Dan untuk menjawab kekhawatiran masyarakat, Bahlil menjelaskan jika investasi tersebut tidak 100% milik negara singapura. Melainkan ada pihak orang Indonesia yang ada di Singapura, hingga pihak warga Timur Tengah, Eropa, maupun warga Asia.

“Jadi investasi kita 1.207 itu, 54% PMA, 46% PMDN, jadi kalau digabung dikompare ke bawah, sebagian yang asing dari Singapura sebagian masuk ke Indonesia, makan PMDN kita lebih besar daripada PMA, karena duitnya orang Indonesia. Cuma kta di kompor-komporin seolah-olah ini China, Korea, Jepang,” ungkap Bahlil.

Disisi lain, terkait ketenagakerjaan, Bahlil juga menegaskan, IUP tambang di Indonesia 80% milik dalam negeri. Yang termasuk dikuasai orang asing merupakan smelter (pabrik pelebur) nya.

Maksud dari penguasaan tersebut, karena di Indonesia sendiri belum memiliki teknologinya, biaya pendirian smelter yang terbilang mahal, pengusaha dalam negeri belum ada kepedulian ke arah sana, juga alasan karena perbankan nasional yang tidak mau membiayai smelter tersebut.

“Maka yang terjadi adalah, teknologinya kita bawa dari luar, kemudian uangnya kita bawa dari luar, terus kemudian kita anti asing. Kalau kita tidak mau asing masuk, berarti kita akan menjadi negara yang lambat dalam proses hilirisasinya,” ungkapnya menjelaskan.

Baca Juga: Viral! Oknum TNI Menendang Pemotor Ibu-Ibu, Pihak TNI Memastikan Pelaku Di Sanksi Sesuai Hukum

Bahlil Lahadalia mengingatkan bagi semua pihak, jika narasi-narasi negatif mengenai investasi asing biasanya juga dibangun bersumber dari para elit politik, yang dulunya merupakan mantan aktivis.

Ia bisa memastikan jika sebagai mantan aktivis, saat berada di pemerintahan tidak akan melacurkan idealismenya.

Bahlil Lahadalia berpesan kepada para elit politik supaya untuk mencari narasi yang bagus dalam memenangkan kontestasi, supaya tidak membuat pengkubuan di Indonesia dan aman untuk pertumbuhan ekonominya yang bagus, sekaligus stabilitasnya juga bagus.

“Tetapi kita ditipu dengan isu-isu polarisasi yang tidak masuk akal, kampret-cebong, bukan berarti saya tidak mengakui adanya polarisasi, barang itu sudah ada sebelum kita lahir, sejak Adam dan Hawa ada,, cuma harus diperlukan kecerdasan kita dalam mengelola,” ungkap Bahlil Lahadalia.

Jika fenomena polarisasi sudah marak terjadi, salah satu upaya untuk menanggulanginya, menurut Ketua Lakpesdam PBNU Ulil Abshar Abdallah, dengan menghimbau kepada pemengaruh/influencer supaya tidak ikut-ikutan dalam kontestasi politik.

Ia menyarankan, agar tokoh-tokoh tersebut menahan diri terjun dalam acara dukung mendukung, melainkan justru mendinginkan suasana.

“Saya menganjurkan tokoh-tokoh biasa disebut sebagai influencer itu sebaiknya tidak ikut terlibat dalam politik dukung mendukung,” kata Ulil Abshar Abdallah.

Berbanding terbalik dengan pendapat Ulil Abshar Abdallah, Direktur Eksklusif Indo Barometer M. Qodari khawatir dengan saran Ulil, tidak akan banyak dilakukan oleh pihak-pihak tersebut. Sebab tokoh-tokoh agama pun banyak yang menyatakan secara publik dukungannya melalui dunia perpolitikan.

Qodari pun juga memberikan sarannya yang paling fundamental menurutnya, yaitu mengubah desain konstitusi dimana pemenang pilpres cukup mayoritas sederhana dengan 40% ataupun 35% suara dalam satu putaran.

Menurutnya, aturan mengenai pemenang pemilu harus 50% + 1 menjadi persoalan yang menyebabkan polarisasi. Dengan aturan tersebut, membuat calon terpaksa membentuk dua kubu, sebab sangat sulit untuk memenangkan kompetisi dalam satu putaran.

Karena pemilihan diikuti oleh multipartai, jika memiliki 3 calon pasangan dengan kekuatan yang mendekati kesamaan, maka sulit secara perhitungan bisa mencapai nilai 50% + 1 dalam satu putaran.

“Menurut dari kacamata ilmu politik saya salah satu penyebab pengkutuban yang ekstrim itu adalah desain konstitusi atau desain aturan, dan itu harus diubah, kalau itu konstitusi lewat amandemen UU 1945,” ungkap Qodari.

Kesimpulan dalam laporan hasil survei nasional, polarisasi politik fakta memang terjadi di Indonesia, dan diprediksi akan kembali terjadi pada tahun 2024.

Hoaks menjadi salah satu ancaman terjadinya polarisasi, walaupun hal yang harus dihindari adalah politik polarisasi. Maka masyarakat dihimbau jeli dalam melihat calon dan elit politik yang memainkan politik polarisasi.

Penting diketahui, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Polarisasi adalah pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang berkepentingan dan sebagainya) yang berlawanan.

Dalam definisi polarisasi politik secara umum, merupakan dua kelompok yang memiliki paham dan pandangan yang berbeda dalam kaitannya dengan politik.

Dari catatan sejarah, polarisasi politik sudah lama terjadi sejak dulu, misalkan antara Partai Islam, Nasionalis, dan Komunis dalam sejarah pemerintahan Indonesia.*** 

Editor: Muhafi Ali Fakhri

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler