Menurut Jejen, dana Rp 1 juta itu bisa digunakan untuk memperbaiki jalan, membangun ruang publik yang terbuka untuk umum atau menciptakan lalu lintas yang ramah, yang telah dibahas dalam beberapa bulan terakhir.
“Namun, ini sulit karena ternyata pemerintah jadi mengambil arah lain yaitu perlu membangun angkutan umum, fasilitas umum, jalan atau PDAM”, ujarnya.
Jejen juga berbicara tentang citra dan identitas memimpin pembangunan dari Masjid Raya Al Jabbar.
“Tapi kita juga harus ingat bahwa di sisi pemerintah, menurut saya secara simbolis, ini tentang citra, tentang identitas, tentang kepentingan politik,” ujarnya.
Menurutnya, membangun masjid bisa menguntungkan, ketika ditanya tentang prestasinya di kantor, dengan bangga dia menyebut membangun tempat yang unik dan berkesan.
“Kalau orang lain buat pelebaran jalan itu sepele, tapi kalau membangun sesuatu yang hebat bisa dilihat, kalau ditanya prestasi, sebut saja membangun masjid dengan anggaran Rp 1000 miliar dengan desainnya yang berbeda", katanya.
“Bisa dilihat bahwa menurut citra penguasa itu bermanfaat bagi politisi, pemerintah, bagi citra juga menguntungkan”, jelasnya.
Pasalnya, dalam budaya Indonesia yang mayoritas beragama Islam, masjid dianggap sebagai pusat kehidupan dan tempat ibadah yang penting, lanjut Jejen.
“Jadi kalau ada yang membangun masjid pasti image-nya positif, meski masih ada kritik dari beberapa pihak, tapi tetap dilihat positif dibandingkan membangun angkutan umum,” imbuhnya lagi.***