Apa itu virus zombie? Inilah Alasan Para Ilmuwan Dunia Kini Khawatirkan "Virus Zombie"

28 Januari 2024, 22:44 WIB
Apa itu virus 'Zombie' yang muncul di Siberia bahkan diklaim bisa munculkan wabah baru. Simak di sini untuk penjelasan lengkapnya. /Pixabay / PublicDomainPictures

Portalnganjuk.com Belum sepenuhnya “bersih” atau berhasil 100 persen memenangkan pertempuran melawan virus COVID-19, Dunia digemparkan kembali varian-varian baru yang muncul, salah satu sebuah ancaman baru berpotensi muncul, yakni virus zombie.

Ancaman virus zombie ini muncul seiring dengan ditemukannya sejumlah virus kuno yang telah membeku di lapisan es Siberia. Virus-virus ini telah ada selama ribuan tahun dan berpotensi menjadi aktif kembali jika lapisan es tempatnya membeku mencair akibat perubahan iklim.

Salah satu virus kuno yang berpotensi menjadi ancaman zombie adalah virus Methuselah. Virus ini ditemukan di lapisan es Siberia pada tahun 2010. Virus ini telah berusia sekitar 30.000 tahun dan memiliki kemampuan untuk menginfeksi manusia.

"Strain mikroba Methuselah ini, atau yang juga dikenal sebagai virus zombie, telah diisolasi oleh para peneliti yang telah menimbulkan kekhawatiran bahwa keadaan darurat medis global baru dapat dipicu, bukan oleh penyakit yang baru dikenal dalam ilmu pengetahuan, melainkan oleh penyakit dari masa lalu," terkait laporan The Guardian, bersumber dari Times of India, Jumat 26 Januari 2024.

Ancaman virus zombie ini memang masih menjadi spekulasi, namun para ilmuwan telah memperingatkan bahwa ancaman ini dapat menjadi kenyataan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi ancaman virus zombie ini.

Salah satunya, perigatan dari Ahli virus dari Erasmus Medical Center di Rotterdam, Marion Koopmans mengatakan kepada media setempat bahwa ada risiko nyata bahwa mungkin ada virus dari kutub yang mampu memicu wabah penyakit, kemungkinan seperti bentuk polio kuno. Dia mengimbau ilmuwan dan masyarakat untuk harus berasumsi bahwa hal seperti ini bisa saja terjadi sewaktu-waktu.

Koopmans mengatakan bahwa perubahan iklim menyebabkan lapisan es di kutub mencair, sehingga melepaskan virus-virus kuno yang telah membeku selama ribuan tahun. Virus-virus ini dapat berpotensi menjadi aktif kembali dan menginfeksi manusia.

Koopmans mengatakan bahwa salah satu virus kuno yang berpotensi menjadi ancaman adalah virus polio kuno. Virus ini telah punah dari dunia sejak tahun 1980-an, namun masih ada kemungkinan virus ini masih ada di lapisan es Siberia.

Jika virus polio kuno kembali aktif, maka dapat berpotensi menimbulkan pandemi polio baru. Polio adalah penyakit yang dapat menyebabkan kelumpuhan dan bahkan kematian.

Koopmans mengimbau ilmuwan dan masyarakat untuk harus berasumsi bahwa hal seperti ini bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Dia mengatakan bahwa kita perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi ancaman virus-virus kuno dari kutub.

Sebelumnya, Pada tahun 2023, ahli genom Jean-Michel Claverie dan ilmuwan material Chantal Abergel menemukan beberapa megavirus permafrost, salah satunya berasal dari 48.500 tahun yang lalu. Dan pada 2014 silam, para peneliti dari Universitas Aix-Marseille menjadi yang pertama mengisolasi virus dari lapisan es purba.

Kedua penelitian tersebut menunjukkan bahwa permafrost dapat menjadi sumber virus kuno yang telah bertahan selama ribuan tahun. Virus-virus ini memiliki potensi untuk menjadi aktif kembali jika lapisan es tempatnya membeku mencair akibat perubahan iklim ekstrem saat ini.

Permafrost merupakan salah satu jenis tanah atau sedimen yang tetap membeku selama sebagian besar tahun, biasanya selama setidaknya dua tahun berturut-turut. Ditemukan di daerah dingin seperti Kutub Utara dan Antartika, permafrost mengandung es, tanah, dan bahan organik.

Kondisi Permafrost yang membeku, dalam penelitian ternyata memiliki peran penting dalam melestarikan peninggalan tumbuhan dan hewan purba.

Namun, peningkatan suhu global menjadi ancaman bagi permafrost, yang menyebabkan pencairan, yang dapat melepaskan karbon dan metana yang tersimpan, sehingga memperparah perubahan iklim.***

 

 

Editor: Yusuf Rafii

Terkini

Terpopuler