Baca Juga: Ikuti Jejak Sang Ayah di Politik, Al Ghazali dan El Rumi Resmi Bergabung Dengan Partai Gerindra
Namun, ia sangat tidak menerima jika kampanye hitam yang diterapkan merupakan informasi kebohongan yang disuguhkan kepada publik, hal tersebut malah membuat rakyat terbelah dan membahayakan kesatuan bangsa.
“Kalau kampanye negatif itu berasal dari fakta negatif dari sosok yang dimunculkan, masih dapat diterima walaupun secara etika tidaklah elok menyerang seperti itu. Tapi kalau kampanye hitam itu adalah kebohongan, memfitnah, atau tindakan lainnya yang sebenarnya tidak dilakukan oleh calon yang ingin dijatuhkan,” tuturnya.
Dr. Panji Suminar memberikan sarannya, akan lebih baik elite politik dan peserta pemilu memberikan contoh yang baik dengan berkampanye menonjolkan program, visi, dan misi, bukan malah sibuk mencari kesalahan lawan capres dan cawapres lainnya.
“Dan perlu mengontrol para buzzer, baik kontrol dari peserta pemilu, KPU sebagai penyelenggara, maupun pemangku kebijakan, dan penegak hukum. Kalau mereka menggunakan politik identitas, kampanye hitam membuat polarisasi, tindak tegas, hukum berlaku,” ungkap Dr. Panji Suminar.
Kasus terjadinya Polarisasi politik di Indonesia
Penting diketahui, menurut data hasil survei Nasional yang dilakukan Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI), memaparkan jika kasus polarisasi politik di Indonesia yang telah terjadi, baik di dimensi jaringan sosial online (daring) hingga dunia nyata (Luring).
Ketua Laboratorium Psikologi Politik UI Profesor Hamdi Muluk, dalam hasil surveinya bertajuk Polarisasi politik Indonesia: “Mitos atau Fakta? Yang dipantau secara daring di Jakarta” memaparkan polarisasi masih sangat kuat terjadi, diantaranya yang berbasis agama, polarisasi berbasis kepuasan kinerja pemerintahan, berbasis sentimen anti luar negeri.
“Agama varian penyumbang terbesar polarisasi,” ungkap Profesor Hamdi Mulu.